Cari Blog Ini

foto

foto
debat bahasa Arab tingkat Asean

Rabu, 05 Mei 2010

ULUMUL QUR'AN (NASIKH DAN MANSUKH)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Allah menurunkan syari’at samawiyah kepad RasulNya adalah untuk memperbaiki umat di bidang aqidah, ibadah dan muamalah. Sesungguhnya aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan, maka dakwah atau seruan para Rasul kepada aqidah yang satu pun sama. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“ Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyuhkan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al-Anbiya’:25)
Dalam bidang ibadah dan mu’amalah, prinsip dasar umumnya adalah sama yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat, serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Akan tetapi tuntutan dan kebutuhan antara umat yang satu dengan yang lainnya tidak sama, hal ini dikarenakan perjalanan dakawah dan taraf pertumbuhan serta pembentukan yang tidak sama . begitu pula hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at adalah Allah SWT yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu begitu pula terhadap otoritas perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu sangatlah wajar jika kemudian Allah menghapuskan suatu syari’at dengan syari’at yang lain demi menjaga kemaslahatan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan kemudian.

1.2 Rumusan Masalah
a). Bagaimana pengertian Nasakh dan Mansukh
b). Apakah syarat-syarat nasakh
c). Apa saja jenis-jenis naskah
d). Apa saja macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
e). Hikmah apa yang ada pada nasakh
1.3 Tujuan
a). Mengetahui pengertian Nasakh dan mansukh
b). Mengetahui syarat-syarat nasakh
c). Mengetahui jenis-jenis nasakh
d). Mengetahui macam-macam nasakh yang ada dalam Al-Qur’an
e). Mengetahui hikmah yang ada dalam Nasakh


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Nasikh dan Mansukh
Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk perubahan dari kata nasakh, masdar dari kata kerja nasakha. Kata nasakh sendiri mempunyai banyak makna. Ia bisa berarti menghilangkan (al-izalah), sebagai terdapat dalam QS. Al-Hajj ayat 52
(وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ وَلاَ نَبِيٍّ إِلاَّ إِذَ ا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطنُ فِى أُمْنِيَّتِهِ ۚ فَيَنْسَخُ مَا يُلْقَى الشَّيْطنُ ثُمَّ يُحْكِمُ الله آيتِهِ ۗۗ وَالله عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ)
(dan kami tidak mengutus seorang rasul da tidak (pula) seorang nabi sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang dimasukkan setan itu. Dan Allah akan menguatkan ayat-ayatnya. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana).
bisa berarti menggantikan (al-tabdil), sebagai terdapat dalam QS. Al-Nahl ayat 101;
( وَإِذَا بَدَّلْنَا آيةٍ مَكَانَ ايةٍ ,,,,)
( Dan apabila kami mengganti ayat yang satu dengan ayat yang lain,,,,)
Juga bisa berarti pengalihan (al-tahwil), sebagai yang berlaku dalam ilmu faraidh(pembagian harta warisan).
Bisa juga berarti mengutip atau memindahkan (al-naql), seperti kalimat nasakhtu al-kitab, berarti saya mengutip isi buku, dalam ayat al-qur’an surat al jatsiyah ayat 29:
إِنَّا كُنَّا نَسْتَْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
( sesungguhnya kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan),Maksudnya kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-lembaran catatan amal.
Dari definisi yang telah disebutkan, disini jelas bahwa nash mempunyai makna yang banyak, akan tetapi diantara makna-makna tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah bermakna al-izalah menghilangkan).
Sedangkan pengertian menurut istilah adalah (رفع شيئ وإثبات غيره مكانه )
( mengangkat (menghapuskan) sesuatu dan menetapkan yang lain pada tempatnya)
Dalam kalimat lainnya ialah mengangkat (menghilangkan) hukum syara’ dengan dalil hukumnya syara’ yang lain. disebutkan kata hukum disini menunjukkan prinsip bahwa segala ” sesuatu hukum asalnya adalah boleh ” tidak termasuk yang dinasakh.
Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah ( yang menghapus hukum itu. Seperti firmannya dalam surat al-baqarah : 106:
مَا نَنْسَخُ مِنْ آيةٍ
“ Dan tidaklah Kami menghapus suatu ayat………”
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapus. Maka ayat mawaris (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya misalnya adalah penghapusan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan.


2.2 Syarat-syarat Nasakh
Dalam nasakh terdapat syarat-syarat yang harus diketahui yaitu:
1. Hukun yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar’i
3. Khitab yang dihapus atau yang diangkat hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.

2.3 Jenis-jenis nasakh
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Misalnya ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari
2. Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah :
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.akan tetapi jumhurul ulama sepakat bahwa ini tidak berlaku karna Al-Qur’an adalh mutawatir
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir, nasakh semacam ini diperbolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
3. Nasakh Al-Sunnah dengan Al-Qur’an, ini dibolehkan oleh jumhur sebagaimana masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan didalam Al-Qur’an tidak terdapat dalia yang menunjukkannya. Ketetapan ini kemudian di nasakh oleh Al-Qur’an dengan firman-Nya:
” Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram” (Al-baqarah:144)
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu di dukung oleh Al-Qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur’an tentu pula didukung oleh As-Sunnah. Hal ini karena Al-Qur’an dan As-Sunnah harus senatiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam hal ini ada empat bentuk yaitu:
a. nasakh mutawatir dengan mutawatir
b. nasakh ahad dengan ahad
c. nasakh ahad dengan mutawatir
d. nasakh mutawatir dengan ahad
tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan yang ke empat terjadi silang pendapat.

2.4 Macam-macam nasakh dalam Al-Qur’an
Menurut al-Zarkasyi, ada tiga macam nasakh, khususnya daris segi tilawah (bacaan) dan hukumnya.
1. Nasakh dari segi bacaan dan hukumnya sekaligus,
yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan hukum yang baru.
Misalnya penghapusan ayat tentang keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan dengan lima kali susuan saja.

2. Nasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya,
yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca sedangkan isi hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya pada surat al-Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya harus ber’iddah selama satu tahun dan masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal selama ‘iddah satu tahun. Ketentuan hukum ayat tersebut dihapus oleh ayat 234 surat al-Baqarah , sehingga keharusan ‘iddah satu tahun tidak berlaku lagi.
3. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya.
Yaitu tulisan ayatnya sudah dihapus sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Sebagaimana hadiast Umar bin khatahab dan ubay bin Ka’ab:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنيَا فَارْجُمُوْهُمَا اَلْبِتَةً نَكَالاً مِنَ الله ولله عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“ Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana “

Nasakh dengan pengganti dan tanpa pengganti:
Secara umum, bahwa adanya nasakh ini menunjukkan bahwa syariat Islam merupakan syariat paling sempurna yang menasakh syariat-syariat yang datang sebelumnya. Karena syariat Islam berlaku untuk semua situasi dan kondisi, maka adanya nasakh berfungsi untuk menjaga kemaslahatan umat
1. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap suatu hukum tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai pennggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya sudah berubah.
Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah:
” Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (Al-Mujadalah:12)
Ketentuan ini dinasakh dengan firman-Nya:
” Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah sholat, tunaikan zakat..”(Al-Mujadalah: 13)

2. Nasakh dengan pengganti yang seimbang
Nasakh disamping menghapuskan suatu ketentuan juga menentukan hukum baru sebagai penggantinya. Penggantinya itu sering seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya nasakh dari sholat menghadap ke Baitul al-Muqaddas yang beralih menghadap ke Baitil Haram (ka’bah)
3. Nasakh dengan pengganti yang lebih berat, misalnya penghapusan hukuman penahan di rumah (terhadap wanita yang berzina).
” dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu(untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurungkanlah mereka (wanita-wanita itu) di dalam rumah” ( An-Nisa’:15)
Ayat ini kemudian dinasakh dengan ayat:
” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka cambuklah setiap ortang dari mereka 100 kali cambukan....(An-nur: 2)
4. Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan, misalnya:
” Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu...(Al-Baqarah: 183)
Ayat tersebut kemudian dinasakh dengan ayat sebagai berikut:
” Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa dengan istri-istrimu...(Al-Baqarah: 187)
Hal-hal yang mengalami nasakh:
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan , baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yanng bermakna amr (perintah) atau nahy (larangan).

Bagaimana cara mengetahui nasikh dan mansukh :
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat
2. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan datang berdasarkan sejarah
2.5 Hikmah Nasakh
Adapun hikmah yang terdapat pada nasakh adalah sebagai berikut:
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.
2. Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3. Memelihara kemaslahatan hamba
4. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam
5. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Makalah yang kami tulis ini untuk membahas pengertian tentang nasakh dan mansukh karena ternyata banyak pengertian yang ada di dalamnya, juga berkenaan dengan macam – macam nasakh dalam Al-Qur’an dan begitu pula jenis-jenis nasakh yang ada.
Kendati banyak para ulama yang berselisih pendapat mengenai diperbolehkannya nasakh dan mansukh akan tetapi perlu diketahui bahwa seiring dengan perkembangan dakwah dan kemajuan zaman serta pergantian kaum yang satu dengan yang lainnya maka hukum syar’i menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada.
Banyak hikmah yang dapat dipetik setelah mempelajari nasakh dan mansukh, sehingga setelah mengetahui lebih dalam lagi maka kita makin kuat keimanan kita dan kepercayaan kita bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya.

3.2 Kritik dan Saran
Tentunya dalam penulisan makalah ini banyak terjadi kesalahan dan kekurangan, kami menyadari bahwa kami masih dalam proses belajar dan sedang menuju yang lebih baik. Oleh sebab itu dukungan saran dan kritik serta uluran maaf sangat kami harapkan demi kebaikan kita bersama.
إلِىَ الله نَشْكُوْ أَنَّ فِيْنَا مَرُوْمًا نَنْتَهِىْ بِهِ إِلىَ حُسْنِ الْخِتَامِ










Tidak ada komentar:

Posting Komentar